Lebih dari 100 warga Nayaro Sub Muawe dan Matuawe dari Kampung Nayaro, melakukan ritual adat di atas lahan yang diserahkan untuk PT KPI membangun sebuah bengkel alat berat di tanggul timur. Bengkel tersebut sesuai dengan permintaan masyarakat Nayaro diberi nama Taimiriwau Jaya Shop . (Taimiriwau adalah nama lokasi) sekitar 3 km arah selatan dari Bengkel Lama ( 36 Shop). kamis, 20 April 2010
Kendaraan Ford yang dikendarai oleh Mas Bambang sujatmiko meluncur cepat dari Kuala Kencana, Mile 39 – terus memasuki tanggul Timur. Kiri – kanan sepanjang jalan hanyalah belantara, sempat kami bertemu dengan panser-panser dan pasukan pengawalan yang pakir di tepian jalan, kami saling menyapa hanya dengan lambaian tangan, dan terus melaju diatas 80 Km meter / per jam. Sejauh pandangan ke depan hanyalah hutan dan jalan berbatu kerikil yang seolah ujungnya sudah dekat, padahal masih sangat jauh. Kurang lebih 1 jam perjalanan ke arah kampung Nayaro. Kami berbelok ke kanan, dimana terdapat sebuah lahan yang sudah dibersihkan dan ditimbun untuk dibangun bengkel alat berat. Disana sudah ada tenda dan banyak, masayarakat kamoro termasuk anak-anak, tua muda sudah menunggu kedatangan kami.
Kami disambut oleh beberapa perempuan yang menggunakan pakaian adat, dengan piring dan kaleng berisi tanah yang dicampur dengan perwarna dari jenis buah hutan di tangan mereka masing-masing. Wajah, kepala dan tangan kami di oles lumpur seperti luluran. Mudah-mudahan kulit ku semakin halus...karena luluran lumpur tersebut.
Sehari sebelumnya, masyarakat telah berada di lokasi membangun tiga buah kemah dan satu rumah adat (Arapau) berukuran 3 x 4 meter persegi.
Menurut Herman Apoka, ritual tersebut untuk meminta perlindungan dari tuan tanah dan para moyang karena akan dibangun bengkel disini, untuk menolak kekuatan negatif yang bisa saja terjadi seperti kecelakaan banjir dan sebagainya. Sejak tadi malam tua-tua adat sudah melakukan pukul tifa duduk sampai pagi.
Puncak ritual dilakukan pada pagi hari pkl 10.00. WIT. Tua-tua adat berkumpul di depan arapau yang di dalamnya ada sekitar 20 orang lelaki bertelanjang badan, dengan wajah dirias arang tidur terlentang dengan kaki saling menyilang, dan beraksi seperti sedang kerasukan. Lidah di julur – julur dan mata tertutup dengan suara-suara dengungan.....
Diawali dengan pemanggilan para moyang oleh Paulinus Yemiro. Saat ini, tidak diperbolehkan anak gadis menyaksikan karena pamali, para gadis berada di dalam tenda-tenda. Pintu arapau hanya ditutupi daun-daun palem yang kemudian dibuka oleh bapak Herman Apoka dengan cara memotong rangkaian buah-buah hutan yang digantung tepat di depan pintu.
Dilanjutkan dengan menyembelih se ekor ayam putih menggunakan parang kemudian dimasukan ke dalam lubang yang sudah disediakan ditengah arapau. bersama piring putih, kain sarung dan sirih pinang di masukan ke
Saya teringat ingat bulan oktober tahun lalu, ketika melakukan kegiatan di kampung Tipuka – Ayuka , sebelum melakukan pembersihan kampung warga mengadakan upacara adat dengan tari-tarian. Menurut informasih dari beberapa wanita yang sempat menumpang di kendaraan saya. Mereka juga telah memberikan makan tuan tanah. Orang kamoro masih memegang erat kepercayaan seperti ini, mesti sudah banyak terkikis oleh penginjilan Misi katolik .
Acara dilanjutkan dengan dansa adat bersama, kami pun turun arena, ya kalo di pesisir utara dinamakan Balengan, ........kandas....seka ...wuih.... ini kesempatan buat kaki abu sebab di kota tidak akan merasakan tarian seperti ini.
Pertemuan dengan tiga tokoh masyarakat (Herman Apoka, Paulinus Yemiro, dan Ibu Victoria) untuk penandatangan berita acara dan penyerahan uang sebersar 50 Juta rupiah sebagai tanda ucapan terimakasih dan penghargaan kepada masyarakat bertempat di Restorant Oriental Timika .
Kendaraan Ford yang dikendarai oleh Mas Bambang sujatmiko meluncur cepat dari Kuala Kencana, Mile 39 – terus memasuki tanggul Timur. Kiri – kanan sepanjang jalan hanyalah belantara, sempat kami bertemu dengan panser-panser dan pasukan pengawalan yang pakir di tepian jalan, kami saling menyapa hanya dengan lambaian tangan, dan terus melaju diatas 80 Km meter / per jam. Sejauh pandangan ke depan hanyalah hutan dan jalan berbatu kerikil yang seolah ujungnya sudah dekat, padahal masih sangat jauh. Kurang lebih 1 jam perjalanan ke arah kampung Nayaro. Kami berbelok ke kanan, dimana terdapat sebuah lahan yang sudah dibersihkan dan ditimbun untuk dibangun bengkel alat berat. Disana sudah ada tenda dan banyak, masayarakat kamoro termasuk anak-anak, tua muda sudah menunggu kedatangan kami.
Kami disambut oleh beberapa perempuan yang menggunakan pakaian adat, dengan piring dan kaleng berisi tanah yang dicampur dengan perwarna dari jenis buah hutan di tangan mereka masing-masing. Wajah, kepala dan tangan kami di oles lumpur seperti luluran. Mudah-mudahan kulit ku semakin halus...karena luluran lumpur tersebut.
Sehari sebelumnya, masyarakat telah berada di lokasi membangun tiga buah kemah dan satu rumah adat (Arapau) berukuran 3 x 4 meter persegi.
Menurut Herman Apoka, ritual tersebut untuk meminta perlindungan dari tuan tanah dan para moyang karena akan dibangun bengkel disini, untuk menolak kekuatan negatif yang bisa saja terjadi seperti kecelakaan banjir dan sebagainya. Sejak tadi malam tua-tua adat sudah melakukan pukul tifa duduk sampai pagi.
Puncak ritual dilakukan pada pagi hari pkl 10.00. WIT. Tua-tua adat berkumpul di depan arapau yang di dalamnya ada sekitar 20 orang lelaki bertelanjang badan, dengan wajah dirias arang tidur terlentang dengan kaki saling menyilang, dan beraksi seperti sedang kerasukan. Lidah di julur – julur dan mata tertutup dengan suara-suara dengungan.....
Diawali dengan pemanggilan para moyang oleh Paulinus Yemiro. Saat ini, tidak diperbolehkan anak gadis menyaksikan karena pamali, para gadis berada di dalam tenda-tenda. Pintu arapau hanya ditutupi daun-daun palem yang kemudian dibuka oleh bapak Herman Apoka dengan cara memotong rangkaian buah-buah hutan yang digantung tepat di depan pintu.
Dilanjutkan dengan menyembelih se ekor ayam putih menggunakan parang kemudian dimasukan ke dalam lubang yang sudah disediakan ditengah arapau. bersama piring putih, kain sarung dan sirih pinang di masukan ke
Saya teringat ingat bulan oktober tahun lalu, ketika melakukan kegiatan di kampung Tipuka – Ayuka , sebelum melakukan pembersihan kampung warga mengadakan upacara adat dengan tari-tarian. Menurut informasih dari beberapa wanita yang sempat menumpang di kendaraan saya. Mereka juga telah memberikan makan tuan tanah. Orang kamoro masih memegang erat kepercayaan seperti ini, mesti sudah banyak terkikis oleh penginjilan Misi katolik .
Acara dilanjutkan dengan dansa adat bersama, kami pun turun arena, ya kalo di pesisir utara dinamakan Balengan, ........kandas....seka ...wuih.... ini kesempatan buat kaki abu sebab di kota tidak akan merasakan tarian seperti ini.
Pertemuan dengan tiga tokoh masyarakat (Herman Apoka, Paulinus Yemiro, dan Ibu Victoria) untuk penandatangan berita acara dan penyerahan uang sebersar 50 Juta rupiah sebagai tanda ucapan terimakasih dan penghargaan kepada masyarakat bertempat di Restorant Oriental Timika .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar