Bukan lautan hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupi mu
Tiada badai tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampiri dirimu
Tiada badai tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman ....
Syair lagu tersebut cocok bagi suku Kamoro yang hidup di pesisir selatan Pulau Papua bersebelahan dengan suku Asmat. Orang Kamoro tersebar di empat puluh kampung termasuk beberapa lokasi Transmigrasi di Timika. Umumnya mereka belum begitu mengenal sistem pertanian dengan baik sebagaimana kaum migran lainnya. Kebanyakan masih menggantungkan hidup pada sungai sebagai sumber makanan selain menokok sagu. Karena alam begitu memanjakannya.
Suku Kamoro juga suka berburu babi hutan, kasuari, kuskus serta berbagai jenis burung. Ikan, Buaya (timako), soa-soa (sejenis kadal yang hidup di bakau), kepiting, udang, tambelo (jenis ulat yang hidup dalam kayu bakau) dan berbagai jenis moluska yang sangat digemari suku air ini.
Selain kekayaan alamnya yang melimpah, orang Kamoro mampu membuat ukiran yang bernilai seni tinggi sama halnya dengan orang Asmat, apresiasi seni yang selalu diwujudnyatakan melalui lagu – lagu, maupun tari-tarian dalam upacara tertetu. Memang diakui banyak nilai-nilai budaya mereka yang sudah terkikis dan tenggelam, karena dianggap bertentangan dengan misi penyebaran Agama Kristen, pemerintah Kolonial Belanda maupun pemrintah Indonesia serta gereja .
Di kota Timika, keberadaan mereka semakin tersingkir ke pinggiran. Permukiman Kamoro yang dibangun sejak 1979 – 1980 an, saat ini hanya beberapa keluarga saja yang bisa bertahan. Sebagain besar masih melakukan kebiasaan sebagai masyarakat semi nomadis, meninggalkan rumah berhari-hari menangkap ikan, atau mencari tambelo di sungai dan menokok sagu di dusun.. dan bila ke kota , umumnya mereka ke kota hanya untuk menjual hasil tangkapannya dan membeli beberapa keperluan.
Tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar zonasi kehidupan mereka yang lebih akrab dengan tiga S, (Sungai, sagu dan Sampan). Kamoro melakukan kebiasaannya bersama keluarga kerabatnya, misalnya ; pergi mencari ikan dan berburu mereka membangun kamp-kamp sementara (Kapiri) di tepian sungai atau pantai kemudian tinggal bersama-sama untuk beberapa lama dan akan berpindah-pindah.
Umumnya bila ke kota hanyalah untuk menjual hasil tangkapannya dan sekedar belanja beberapa kebutuhan sehari-hari nya. Hari minggu mereka tidak melakukan aktivitas sebagaimana mestinya pada hari lain.
Suatu kebiasaan yang sangat memprihatinkan bagi masa depan anak-anak kamoro adalah masalah pendidikan yang kurang mendapat perhatian dari orang tua, diperparah lagi dengan kurangnya tenaga guru berkualitas serta fasilitas yang sangat minim. Faktor pendidikan serta alam yang kaya menbuat orang Kamoro terlena sehingga hampir-hampir tidak peduli dengan kehidupan yang penuh persaingan di kota.
Orang Kamoro, tidak banyak yang menjadi pegawai negeri sipil, atau turut berperan dalam berbagai profesi yang khusus. Di panggung politik Mimika pun hampir tidak ada orang asli Kamoro yang turut mengambil bagian. Menjadi karyawan PT Freeport pun tidak bertahan lama karena sering tidak masuk kerja bahkan bisa berminggu-minggu absen padahal kesempatan kerja bagi mereka menjadi prioritas. Saat ini dari semua suku bangsa yang tinggal di Timika, orang Kamoro boleh dibilang kalah dalam persaingan di segala aspek baik pendidikan, maupun kesempatan kerja profesional.
Anak-anak Kamoro yang disekolahkan oleh Lembaga Pengambangan Amungme Kamoro di Timika maupun ke luar daerah tidak jarang terputus karena tidak mampu bersaing dengan pelajar / mahasiswa asal daerah lain. Dalam kesempatan kerja dan dunia usaha SDM nya pun kalah bersaing dengan pencari kerja migran yang semakin banyak di Mimika.
Sebagai akibat dari kehadiran PTFI serta berbagai tekanan kemajuan Timika yang telah menjadi kabupaten baru yang berkembang pesat sehingga persaingan dalam dunia usaha dan kerja yang lebih menuntut keahlian (skill). SDMnya pun kalah bersaing dengan pencari kerja migran. Selain itu Keterdesakan kebutuhan ekonomi dan alasan 3 S ( sungai, sampan dan sagu) membuat Kamoro semakin tersingkir ke pinggiran kota, tanah-tanah adatnya yang di dalam kota dijual atau telah dikuasai para migran.
Pemerintah sendiri dinilai kurang menghargai anak-anak adat ini,Perubahan drastis ini ditandai dengan penurunan nilai-nilai budaya dan agama , kebiasaan mengkonsumsi minuman keras tidak hanya pada kaum tua saja namun dikalangan muda juga semakin menjadi. (berlanjut)
Syair lagu tersebut cocok bagi suku Kamoro yang hidup di pesisir selatan Pulau Papua bersebelahan dengan suku Asmat. Orang Kamoro tersebar di empat puluh kampung termasuk beberapa lokasi Transmigrasi di Timika. Umumnya mereka belum begitu mengenal sistem pertanian dengan baik sebagaimana kaum migran lainnya. Kebanyakan masih menggantungkan hidup pada sungai sebagai sumber makanan selain menokok sagu. Karena alam begitu memanjakannya.
Suku Kamoro juga suka berburu babi hutan, kasuari, kuskus serta berbagai jenis burung. Ikan, Buaya (timako), soa-soa (sejenis kadal yang hidup di bakau), kepiting, udang, tambelo (jenis ulat yang hidup dalam kayu bakau) dan berbagai jenis moluska yang sangat digemari suku air ini.
Selain kekayaan alamnya yang melimpah, orang Kamoro mampu membuat ukiran yang bernilai seni tinggi sama halnya dengan orang Asmat, apresiasi seni yang selalu diwujudnyatakan melalui lagu – lagu, maupun tari-tarian dalam upacara tertetu. Memang diakui banyak nilai-nilai budaya mereka yang sudah terkikis dan tenggelam, karena dianggap bertentangan dengan misi penyebaran Agama Kristen, pemerintah Kolonial Belanda maupun pemrintah Indonesia serta gereja .
Di kota Timika, keberadaan mereka semakin tersingkir ke pinggiran. Permukiman Kamoro yang dibangun sejak 1979 – 1980 an, saat ini hanya beberapa keluarga saja yang bisa bertahan. Sebagain besar masih melakukan kebiasaan sebagai masyarakat semi nomadis, meninggalkan rumah berhari-hari menangkap ikan, atau mencari tambelo di sungai dan menokok sagu di dusun.. dan bila ke kota , umumnya mereka ke kota hanya untuk menjual hasil tangkapannya dan membeli beberapa keperluan.
Tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar zonasi kehidupan mereka yang lebih akrab dengan tiga S, (Sungai, sagu dan Sampan). Kamoro melakukan kebiasaannya bersama keluarga kerabatnya, misalnya ; pergi mencari ikan dan berburu mereka membangun kamp-kamp sementara (Kapiri) di tepian sungai atau pantai kemudian tinggal bersama-sama untuk beberapa lama dan akan berpindah-pindah.
Umumnya bila ke kota hanyalah untuk menjual hasil tangkapannya dan sekedar belanja beberapa kebutuhan sehari-hari nya. Hari minggu mereka tidak melakukan aktivitas sebagaimana mestinya pada hari lain.
Suatu kebiasaan yang sangat memprihatinkan bagi masa depan anak-anak kamoro adalah masalah pendidikan yang kurang mendapat perhatian dari orang tua, diperparah lagi dengan kurangnya tenaga guru berkualitas serta fasilitas yang sangat minim. Faktor pendidikan serta alam yang kaya menbuat orang Kamoro terlena sehingga hampir-hampir tidak peduli dengan kehidupan yang penuh persaingan di kota.
Orang Kamoro, tidak banyak yang menjadi pegawai negeri sipil, atau turut berperan dalam berbagai profesi yang khusus. Di panggung politik Mimika pun hampir tidak ada orang asli Kamoro yang turut mengambil bagian. Menjadi karyawan PT Freeport pun tidak bertahan lama karena sering tidak masuk kerja bahkan bisa berminggu-minggu absen padahal kesempatan kerja bagi mereka menjadi prioritas. Saat ini dari semua suku bangsa yang tinggal di Timika, orang Kamoro boleh dibilang kalah dalam persaingan di segala aspek baik pendidikan, maupun kesempatan kerja profesional.
Anak-anak Kamoro yang disekolahkan oleh Lembaga Pengambangan Amungme Kamoro di Timika maupun ke luar daerah tidak jarang terputus karena tidak mampu bersaing dengan pelajar / mahasiswa asal daerah lain. Dalam kesempatan kerja dan dunia usaha SDM nya pun kalah bersaing dengan pencari kerja migran yang semakin banyak di Mimika.
Sebagai akibat dari kehadiran PTFI serta berbagai tekanan kemajuan Timika yang telah menjadi kabupaten baru yang berkembang pesat sehingga persaingan dalam dunia usaha dan kerja yang lebih menuntut keahlian (skill). SDMnya pun kalah bersaing dengan pencari kerja migran. Selain itu Keterdesakan kebutuhan ekonomi dan alasan 3 S ( sungai, sampan dan sagu) membuat Kamoro semakin tersingkir ke pinggiran kota, tanah-tanah adatnya yang di dalam kota dijual atau telah dikuasai para migran.
Pemerintah sendiri dinilai kurang menghargai anak-anak adat ini,Perubahan drastis ini ditandai dengan penurunan nilai-nilai budaya dan agama , kebiasaan mengkonsumsi minuman keras tidak hanya pada kaum tua saja namun dikalangan muda juga semakin menjadi. (berlanjut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar