Ini sepucuk surat yang sangat dahsyat oleh seorang pria berusia tiga puluhan, dalam buku Steven Farmer berjudul The Wounded Male, yang saya kutip dari GriefQuest: Reflections for Men Coping with Loss, karya Robert J. Miller dan Stephen J. Hrycyniak,
Ayah,Saya harus mengucapkan selamat jalan kepada Ayah. Kelihatannya aneh melakukan hal ini karena Ayah telah lama meninggal. Namun, saya belum pernah mempunyai kesempatan mengucapkan selamat jalan kepada Ayah. Waktu itu, saya baru mengenal Ayah dan Ayah pergi dan meninggal. Semua terasa tidak masuk di akal, namun saya betul-betul marah kepada Ayah karena Ayah meninggalkan saya.
Saya benci menghadiri pemakaman Ayah. Ayah tidak pernah tahu betapa hebat saya menangis setelah itu, sendirian. Saya tidak dapat membiarkan orang lain melihat saya menangis karena saya harus kuat seperti Ayah.Saya yakin, Ayah belum pernah betul-betul mengenal saya, putra Ayah sendiri.
Ada saat-saat di mana saya merasa benci Ayah dan saat-saat ketika saya mengagumi Ayah, dan kadang-kadang saya bahkan mencintai Ayah.Sekaranglah saat untuk mengucapkan selamat jalan kepada Ayag dan membiarkan Ayah pergi. Saya takut untuk melakukan hal itu, tapi saya harus melakukannya.
Saya benci harus meninggalkan Ayah, tapi saya harus. Terima kasih karena telah menjadi Ayah saya. Ayah tidak selalu sempurna, tapi Ayah memberikan saya suatu permulaan yang baik dan saya akan terus mengingatnya.Salam penuh cinta,Dale
"Mutlak penting demi kebebasan kita untuk memahami bahwa orang tua kita telah melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan dengan pengertian, kesadaran, dan pengetahuan yang mereka miliki."~ Louise Hay (1926 - ), penulis inspiratif
"Mutlak penting demi kebebasan kita untuk memahami bahwa orang tua kita telah melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan dengan pengertian, kesadaran, dan pengetahuan yang mereka miliki."~ Louise Hay (1926 - ), penulis inspiratif
Dari renungan harian .....
untuk Vicaris Diana yang lagi sibuk menjelang paskah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar