Negeri Iwaka

Negeri Iwaka
Odie

Kamis, 01 April 2010

Telur Paskah




Telur Paskah berasal dari tradisi kesuburan kaum Indo-Eropa, telur merupakan simbol musim. Di masa silam, di Persia, orang biasa saling menghadiahkan telur pada saat perayaan musim semi, yang bagi mereka juga menandakan dimulainya tahun yang baru.

Pada abad-abad pertama kekristenan, tradisi ini sulit dihapus karena hari Paskah memang kebetulan jatuh pada setiap awal musim semi. Perayaan musim semi selalu dirayakan dengan meriah mengiringi kegembiraan meninggalkan musim dingin. Tumbuh-tumbuhan dan bunga mulai tumbuh dan bermekaran, dan suasana keceriaan seperti ini menjadi saat yang tepat untuk membagi-bagikan hadiah.

Membagi-bagikan telur pada hari Paskah akhirnya diterima oleh gereja selain untuk merayakan datangnya musim semi, juga karena telur memberikan gambaran/simbol akan adanya kehidupan. Dalam Kristen, telur mendapatkan makna religius, yaitu sebagai simbol makam batu dimana Yesus keluar menyongsong hidup baru melalui kebangkitan-Nya.

Selain itu ada alasan yang sangat praktis menjadikan telur sebagai tanda istimewa Paskah, yaitu karena dulu telur merupakan salah satu makanan pantang selama masa prapaskah.

Umat Kristen sejak awal telah mewarnai telur-telur Paskah dengan warna-warna cerah, meminta berkat atasnya, menyantapnya, serta memberikannya kepada teman dan sahabat sebagai hadiah Paskah.

Terimakasih Ayah

Selamat PASKAH, ......
Ini sepucuk surat yang sangat dahsyat oleh seorang pria berusia tiga puluhan, dalam buku Steven Farmer berjudul The Wounded Male, yang saya kutip dari GriefQuest: Reflections for Men Coping with Loss, karya Robert J. Miller dan Stephen J. Hrycyniak,

Ayah,Saya harus mengucapkan selamat jalan kepada Ayah. Kelihatannya aneh melakukan hal ini karena Ayah telah lama meninggal. Namun, saya belum pernah mempunyai kesempatan mengucapkan selamat jalan kepada Ayah. Waktu itu, saya baru mengenal Ayah dan Ayah pergi dan meninggal. Semua terasa tidak masuk di akal, namun saya betul-betul marah kepada Ayah karena Ayah meninggalkan saya.
Saya benci menghadiri pemakaman Ayah. Ayah tidak pernah tahu betapa hebat saya menangis setelah itu, sendirian. Saya tidak dapat membiarkan orang lain melihat saya menangis karena saya harus kuat seperti Ayah.Saya yakin, Ayah belum pernah betul-betul mengenal saya, putra Ayah sendiri.
Ada saat-saat di mana saya merasa benci Ayah dan saat-saat ketika saya mengagumi Ayah, dan kadang-kadang saya bahkan mencintai Ayah.Sekaranglah saat untuk mengucapkan selamat jalan kepada Ayag dan membiarkan Ayah pergi. Saya takut untuk melakukan hal itu, tapi saya harus melakukannya.
Saya benci harus meninggalkan Ayah, tapi saya harus. Terima kasih karena telah menjadi Ayah saya. Ayah tidak selalu sempurna, tapi Ayah memberikan saya suatu permulaan yang baik dan saya akan terus mengingatnya.Salam penuh cinta,Dale

"Mutlak penting demi kebebasan kita untuk memahami bahwa orang tua kita telah melakukan yang terbaik yang bisa mereka lakukan dengan pengertian, kesadaran, dan pengetahuan yang mereka miliki."~ Louise Hay (1926 - ), penulis inspiratif
Dari renungan harian .....
untuk Vicaris Diana yang lagi sibuk menjelang paskah

Selasa, 30 Maret 2010

Kamoro Bingung dan Tersingkir (Bag 2)


Bukan lautan hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupi mu
Tiada badai tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman ....

Syair lagu tersebut cocok bagi suku Kamoro yang hidup di pesisir selatan Pulau Papua bersebelahan dengan suku Asmat. Orang Kamoro tersebar di empat puluh kampung termasuk beberapa lokasi Transmigrasi di Timika. Umumnya mereka belum begitu mengenal sistem pertanian dengan baik sebagaimana kaum migran lainnya. Kebanyakan masih menggantungkan hidup pada sungai sebagai sumber makanan selain menokok sagu. Karena alam begitu memanjakannya.

Suku Kamoro juga suka berburu babi hutan, kasuari, kuskus serta berbagai jenis burung. Ikan, Buaya (timako), soa-soa (sejenis kadal yang hidup di bakau), kepiting, udang, tambelo (jenis ulat yang hidup dalam kayu bakau) dan berbagai jenis moluska yang sangat digemari suku air ini.

Selain kekayaan alamnya yang melimpah, orang Kamoro mampu membuat ukiran yang bernilai seni tinggi sama halnya dengan orang Asmat, apresiasi seni yang selalu diwujudnyatakan melalui lagu – lagu, maupun tari-tarian dalam upacara tertetu. Memang diakui banyak nilai-nilai budaya mereka yang sudah terkikis dan tenggelam, karena dianggap bertentangan dengan misi penyebaran Agama Kristen, pemerintah Kolonial Belanda maupun pemrintah Indonesia serta gereja .

Di kota Timika, keberadaan mereka semakin tersingkir ke pinggiran. Permukiman Kamoro yang dibangun sejak 1979 – 1980 an, saat ini hanya beberapa keluarga saja yang bisa bertahan. Sebagain besar masih melakukan kebiasaan sebagai masyarakat semi nomadis, meninggalkan rumah berhari-hari menangkap ikan, atau mencari tambelo di sungai dan menokok sagu di dusun.. dan bila ke kota , umumnya mereka ke kota hanya untuk menjual hasil tangkapannya dan membeli beberapa keperluan.

Tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar zonasi kehidupan mereka yang lebih akrab dengan tiga S, (Sungai, sagu dan Sampan). Kamoro melakukan kebiasaannya bersama keluarga kerabatnya, misalnya ; pergi mencari ikan dan berburu mereka membangun kamp-kamp sementara (Kapiri) di tepian sungai atau pantai kemudian tinggal bersama-sama untuk beberapa lama dan akan berpindah-pindah.

Umumnya bila ke kota hanyalah untuk menjual hasil tangkapannya dan sekedar belanja beberapa kebutuhan sehari-hari nya. Hari minggu mereka tidak melakukan aktivitas sebagaimana mestinya pada hari lain.

Suatu kebiasaan yang sangat memprihatinkan bagi masa depan anak-anak kamoro adalah masalah pendidikan yang kurang mendapat perhatian dari orang tua, diperparah lagi dengan kurangnya tenaga guru berkualitas serta fasilitas yang sangat minim. Faktor pendidikan serta alam yang kaya menbuat orang Kamoro terlena sehingga hampir-hampir tidak peduli dengan kehidupan yang penuh persaingan di kota.

Orang Kamoro, tidak banyak yang menjadi pegawai negeri sipil, atau turut berperan dalam berbagai profesi yang khusus. Di panggung politik Mimika pun hampir tidak ada orang asli Kamoro yang turut mengambil bagian. Menjadi karyawan PT Freeport pun tidak bertahan lama karena sering tidak masuk kerja bahkan bisa berminggu-minggu absen padahal kesempatan kerja bagi mereka menjadi prioritas. Saat ini dari semua suku bangsa yang tinggal di Timika, orang Kamoro boleh dibilang kalah dalam persaingan di segala aspek baik pendidikan, maupun kesempatan kerja profesional.

Anak-anak Kamoro yang disekolahkan oleh Lembaga Pengambangan Amungme Kamoro di Timika maupun ke luar daerah tidak jarang terputus karena tidak mampu bersaing dengan pelajar / mahasiswa asal daerah lain. Dalam kesempatan kerja dan dunia usaha SDM nya pun kalah bersaing dengan pencari kerja migran yang semakin banyak di Mimika.

Sebagai akibat dari kehadiran PTFI serta berbagai tekanan kemajuan Timika yang telah menjadi kabupaten baru yang berkembang pesat sehingga persaingan dalam dunia usaha dan kerja yang lebih menuntut keahlian (skill). SDMnya pun kalah bersaing dengan pencari kerja migran. Selain itu Keterdesakan kebutuhan ekonomi dan alasan 3 S ( sungai, sampan dan sagu) membuat Kamoro semakin tersingkir ke pinggiran kota, tanah-tanah adatnya yang di dalam kota dijual atau telah dikuasai para migran.

Pemerintah sendiri dinilai kurang menghargai anak-anak adat ini,
Perubahan drastis ini ditandai dengan penurunan nilai-nilai budaya dan agama , kebiasaan mengkonsumsi minuman keras tidak hanya pada kaum tua saja namun dikalangan muda juga semakin menjadi. (berlanjut)

Mampukah Kamoro Bertahan Di Tanahnya ? (Bagian I)

Perkembangan dan laju pertumbuhan penduduk Kota Timika begitu cepat, membuat Suku Kamoro kalah saing akibatnya tersingkir dan menjadi penghuni beberapa tempat pinggiran kota,.... banyak rumah-rumah yang dibangun PTFI sudah dijual, anak-anak mereka kebanyakan hanya bisa sampai sekolah lanjutan pertama, putus sekolah menjadi pilihan karena terhimpit perkembangan. Sungguh memprihatinkan Masa depan mu Kamoro ..
Sebenarnya kepemilikan hak atas tanah di dataran Timika, adalah sebagai berikut; Bagian Barat kampung Kaugapu, (kini Mapuru Jaya) sampai dengan lokasi Transmigrasi umum, terus ke ujung barat lapangan terbang adalah hak ulayatnya suku Kapawe di Kampung Kaugapu. Dari pertengahan lapangan terbang ke arah timur hingga sungai Ajikwa yang saat ini menjadi area pengendapan SIRSAT terus sampai ke Desa Nayaro adalah tanah ulayatnya orang Koperapoka di Naekeripi - Waunaripi (Nawaripi Lama)

Mimika awalnya adalah bagian dari wilayah kabupaten fak-fak, terdiri dari tiga Distrik (Kecamatan) yaitu ; Akimuga, Distrik Mimika Barat, dan Mimika Timur dan menjadi kabupaten Otonom sejak 12 Oktober 1999 maka ditambah satu wilayah adminstrasi Distrik yaitu Mimika Baru . merupakan peninggalan kamp kerja perusahaan minyak di Babo yang pada tahun 1930 an diberi konsesnsi mencari minyak di tanah papua bagian barat. Awal tahun 1970 an masih merupakan dusun kecil. Ketika PTFI mulai beroperasi wilayah ini menjadi pangkalan operasi serta merupakan terminal penghubung ke luar daerah.

Tahun 1978 – sampai tahun 1980-an dibangun permukiman terpadu di Timika seperti Kampung Harapan Kwamki, Kwamki Baru untuk orang Amungme dari Dataran tinggi Waa – Banti, Mulkini (Tembagapura) juga dari Mimika Timur jauh Akimuga. Selain itu, dibangun juga permukiman Koperapoka, Kampung Inauga (Sempan Barat) dan Nawaripi untuk orang Kamoro oleh Pemerintah Daerah bersama PTFI .
Kehadiran PTFI rupanya sangat menarik suku-suku lain dari luar Mimika, baik dari dataran tinggi seperti orang Mee, Maupun Dani, Moni, Nduga ke dataran Yaramaya yang luas dan masih belantara. Pemerintah juga mendatangkan transmigrasi dari luar Papua.

Pengaruh operasi penambangan PTFI maka saat yang bersamaan masuklah para migran asal suku Toraja, Bugis, Makasar,Kei,Buton,Jawa dan sebagainya termasuk suku-suku papua dari utara memasuki kawasan ini.

Kepadatan penduduk di Timika boleh dibilang paling cepat dari kabupeten lain di Papua, . Kondisi ini terlihat pada sentra-sentra kota dan mulai merambat ke area transmigrasi dan sepanjang jalur ke Mware,Hiripau hingga ke Pelabuhan Pumako dan ke arah barat.
Hampir tidak terlihat lagi lahan-lahan pertanian di daerah permukiman Transmigrasi. Banyak tanah transmigrasi telah dijual sebagai modal usaha baik di Timika atau di tanah asal para migran, selain itu beberapa alasan lain yaitu masalah keamanan, dimana sering sekali terjadi konflik antar warga migran dari suku pedalaman.
Dalam kota Timika maupun di sepanjang jalan utama yang menghubungi kota Timika ke Pelabuhan laut pun hampir dikuasai kaum pendatang. Mereka membangun rumah tinggal maupun tempat usaha.
Para migran lokal dari pegunungan tengah selain Amungme, mulai melirik lahan-lahan tidur meski sudah ada pemiliknya yang mengangtongi sertifikat, para migran dari gunung ini mebuka lahan –lahan tersebut dan berkebun kemudian mengklaim sebagai haknya.

Sementara suku Kamoro sendiri mulai tersingkir ke pinggiran kota. Kini terlihat pada beberapa daerah yang dulunya menjadi permukiman suku Kmoro seperti di ; Koperapopa, Inauga , Sempan, Nawaripi Baru kini hampir lebih banyak pendatang dari luar Papua banyak rumah-rumah yang dibangun dari dana 1% oleh PTFI sudah berpindah tangan alias dijual meski diakui mereka masih ada namun tidak seberapa. (berlanjut)

Minggu, 28 Maret 2010

Pastori jemaat Pniel ditabiskan, Selamat Ultah Pdt. M. Adadikam. S,Th

Minggu, 28 Maret 2010.

Warga Jemaat GKI Pniel Jalan Baru Timika memperingati HUT yang ke- 6 sekaligus pentahbisan rumah pastori baru. Bertepatan dengan itu bersama warga jemaat yang hadir, Ketua Klasis GKI Mimika Pdt. M. Adadikam. S,Th merayakan ulang tahunnya yang ke 46.
Ibadah minggu pagi itu diawali dengan Penyerahan Hasil sidang jemaat ke - 6 oleh ketua jemaat Pdt. A. Dimara.S. Th kepada wakil dari keempat unsur (PW, PKB, PAM dan PAR) disaksikan warga jemaat
Ibadah dimulai jam 9.12 waktu setempat dipimpin Pdt. Alberth Yoku. S.Th dari BP AM Sinode GKI di tanah Papua. ”Dalam refleksinya dari Injil Yohanes 12 :12-19 ”Yesus masuk kota Yerusalem” Sesuai kelender gerejawi, saat ini semua umat kristen sedang merenungi kesengsaraan Tuhan Yesus (minggu ke tujuh) .


”Ketika Yesus masuk kota Yerusalem bangsa Israel sedang merayakan pesta, banyak orang memuliakan Dia. Namun dibalik itu orang Farisi sedang merancang stratgi untuk menangkap dan membunuh Yesus. Umat Kristen saat ini sedang diperhadapkan dengan peristiwa besar yaitu kematian Tuhan Yesus. Warga Pniel, saat ini juga dalam keadaan suka cita atas parayaan HUT pelayanan yang ke 6. Namun perlu diingat bahwa kadang ketika diperhadapkan dengan suasana gembira kita memuliakan Tuhan, ketika persoalan hidup yang berat apakah kita bisa tetap mempertahankan kemuliaan bagi Tuhan? ataukah kita sama seperti orang – orang Israel yang berteriak Hosana ketika Yesus memasuki Yerusalam dan memilih Barabas ketika Yesus dihadapan Pilatus ? Di tengah perkembangan kota dan pergumulan siapakah yang akan Jemaat pilih Yesus atau Barabas.” jemaat memberi responinya dengan suara lemah memilih ”Yesus” demikian cuplikan refleksi yang disampaikan Pdt. A. Yoku S,Th pagi itu.

Setelah ibadah, dilanjutkan dengan prosesi pentahbisan rumah pastori. Para pelayan bersama jemaat berjalan melalui pintu kiri gereja menuju bangunan berukuran 95 m2. yang terletak disamping kiri belakang atau tepat di belakang bangunan gereja lama. Penguntingan pita dilakukan oleh Pdt. M. Adadikam. Sebelum pintu rumah di buka, Hamba Tuhan Pdt. A. Yoku memberkati rumah tersebut, dan jemaat dipersilahkan melihat ke dalam.

Penandatangan berita acara di lakukan oleh ketua Jemaat Pniel Pdt. A. Dimara, Pdt. M Adadikam disaksikan warga jemaat dan para pelayan yang hadir.

Perayaan HUT
Pemotongan kue ulang tahun Jemaat dilakukan oleh Pdt A. Dimara. Kemudian diserahkan kepada perwakilan tiap unsur di jemaat dan Pdt. M. Adadikam sebagai pelayan pertama jemaat Pniel enam tahun lalu.

Selanjutnya Pembawa acara mengundang Pdt. M. Adadikam bersama keluarga nya ke depan untuk merayakan HUT ke 46 nya. Diawali dengan meniup lilin secara bersama dengan isteri dan ke tiga putra-putrinya yang lucu dan pemotongan kue untuk diberikan kepada isteri dan ketiga putra –putrinya. Disaksikan warga jemaat yang hadir. Acara berakhir dengan makan siang bersama.