Negeri Iwaka

Negeri Iwaka
Odie

Kamis, 11 Maret 2010

Belajar dari anak-anak di Lembah Aroa

Baluni, Jagamin, Aingogin, Aingigi 1 dan Aingigi 2, sub kampung Omponi dan Ombani.

Itulah kampung-kampung di wilayah lembah Aroa (Aroanop) sekitar 45 km ke sebelah Timur kota Tembagapura. Merupakan salah satu dari Tiga Desa yang ada di dataran tinggi.(Waa –Banti, Tsinga dan Aroanop) Penduduknya sekitar 1000 – an jiwa mayoritas suku Amungme beberapa diantaranya berasal dari suku Moni yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Mereka hidup damai dan saling menghargai tiap perbedaannya. Terbukti saat hari minggu atau pertemuan-pertemuan selalu menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Amungme dan Bahasa Moni

Desa ini bisa dicapai dari Tembagapura atau dari Timika dengan Chopper kurang dari 15 menit. Kalau berjalan kaki dari Tembagapura (melalui lembah Waa – Opitawak) harus mendaki gunung sekitar 2000 – 3000 meter dari permukaan laut selama 8 – 12 jam.

Transportasi andalan dari satu sub kampung – ke kampung lain di Lembah ini hanyalah berjalan kaki. Pusat pemerintahan desa yaitu Omponi terletak ada lembah di antara kampung-kampung lain . Di sini hanya terdapat fasilitas umum, Rumah sakit, Sekolah Dasar dan gereja, Sementara rumah-rumah penduduk berada di punggung-punggung gunung.

Desa – desa di High Land dibangun oleh PT Freeport sebagai Komitment sosialnya bagi masyarakat setempat. Anda akan terkejut bila melihat perumahan penduduknya yang tersusun rapih meski terbuat dari papan namun seperti vila-vila di Eropa. Tiap rumah yang dibangun dilengkapi dengan ”tempat tidur / spring bed” dan blangket ” sehingga tidak kedinginan.

Sementara rumah asli mereka yaitu ”Tisorei” – rumah adat bagi pria dan ”Ongoi” untuk kaum wanita atau yang lebih dikenal dalam bahasa Lani ”Honai” masih dipertahankan meski hanya untuk anak-anak bermain dan belajar juga sebagai tempat diskusi.

Orang Amungme di Lembah ini mengalami kontak dengan dunia luar ketika para misionaris dari Gereja Kemah Injil datang mewartakan injil dan mengajari kehidupan bertani yang menetap serta pendidikan. Para misionaris tersebut, datang dari Enarotali dengan berjalan kaki.

Di Aroa pendidikan dasar sampai kelas enam (SD Inpres), bangunan nya bagus dan permanen. Dibangun oleh Lembanga Pengembangan Mayarakat Amungme Kamoro (LPMAK). Kerangka bangunannya dari bahan baja ringan, dinding dari ”Hardek” dan lantainya keramik. Semangat anak-anak untuk sekolah cukup tinggi. Bayangkan mereka pagi-pagi sudah tiba di sekolah, berjalan dari kampung-kampungnya yang berjarak sekitar 5 hingga 10 km melalui tebing-tebing curam hutan rimba dan udara dingin namun rintangan itu tidak mematahkan semangat mereka, sama halnya di dua desa lainnya. Bagi anak-anak Amungme itu adalah hal biasa.

Rata-rata, anak-anak yang sempat saya tanyakan memiliki kerinduan untuk belajar di Asrama Penjunan (Pendidikan pola Asrama bagi putra-putri Amungme asal tiga desa) di Timika atau ke Asrama Tomawin di Tembagapura. Ke dua Asrama tersebut dikelola oleh LPMAK, bahkan ada anak yang bercita-cita menjadi Pilot dan dokter. (selamat buat Nalio Jangkup yang telah lulus dari Aero Flyaer Institute Curug Banten 20 Feb 2010, putra Aroanop, Pilot pertama Amungme – Tuhan memberkati mu)
Namun sayang..., semangat mereka tidak didukung dengan semangat para guru. Kadang tidak ada guru (guru ke kota), sehingga sekolah bisa libur berbulan-bulan. Herannya Dinas Pendidikan tidak terlalu peduli. Apakah ini cara pembodohan yang sengaja dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap anak-anak Papua di kampung ? Pada hal kalau dilihat pejabat dan para guru yang melakukan praktek pembodohan ini awalnya dari kampung yang pernah merasakan bagaimana susahnya menuntut ilmu .
Dari pengalaman dan pengamatan saya selama berkunjung ke kampung-kampung Amungme ada empat elemen penting yang patut diteladani dari anak-anak Amungme, yaitu; pengembangan diri dan disiplin yang tinggi, tidak mudah menyerah dan percaya diri serta menghargai perbedaan orang lain yang dinyatakan melalui kepolosan mereka. Amole

Tidak ada komentar:

Posting Komentar